Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap pendanaan startup di Indonesia diramaikan oleh pemain baru: Corporate Venture Capital (CVC). Ini adalah unit modal ventura yang dimiliki oleh perusahaan korporat besar yang sudah mapan, seperti MDI Ventures (Telkom Group), BNI Ventures (BNI), atau Djarum (melalui GDP Venture).
Berbeda dengan Venture Capital (VC) tradisional yang murni berfokus pada keuntungan finansial (ROI), CVC memiliki dua tujuan. Selain mencari keuntungan, tujuan utama mereka adalah strategis: mencari startup yang dapat membawa inovasi baru dan sinergi bisnis ke dalam ekosistem perusahaan induk mereka.
Menjamurnya CVC didorong oleh kesadaran korporat raksasa bahwa mereka tidak bisa berinovasi sendirian secepat startup. Daripada membangun teknologi baru dari nol (yang lambat dan birokratis), lebih cepat bagi mereka untuk berinvestasi atau mengakuisisi startup yang lincah dan sudah memiliki produk yang terbukti.
Bagi startup, mendapatkan pendanaan dari CVC adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, mereka mendapatkan akses instan ke jaringan distribusi, basis pelanggan, dan kredibilitas dari korporat besar. Di sisi lain, ada risiko startup tersebut terlalu ‘terikat’ pada agenda strategis perusahaan induk dan kehilangan independensinya.
Kehadiran CVC telah menjadi katalis penting dalam ekosistem startup Indonesia. Mereka menjembatani dunia korporat yang stabil dengan dunia startup yang dinamis, menciptakan siklus inovasi yang saling menguntungkan dan mempercepat laju transformasi digital di berbagai industri.

 